Nenek Penjual Sapu (Surakarta)

Kisah ini saya dapat dari salah satu teman dekat saya yang saat ini sedang bekerja di Solo (Surakarta). Kisah inspiratif ini menggugah hati saya untuk selalu berjuang dalam hidup bagaimanapun keadaanya. Seorang nenek renta berjuang bertahan hidup menjajakan dagangannya yang berupa sapu. Sekitar sebulan yang lalu nenek ini mendatangi tempat kerja teman saya (Ricart), lalu  Ricart membeli sebuah sapu dagangan nenek itu. Pertemuan pertama itu pun saya dengar dan banyak teman-teman yang terharu dengan kisah Ricart yang ia utarakan di status Facebook. Lalu beberapa hari lalu nenek itu datang kembali menawarkan sapu kepada Ricart. Usianya sudah sangat renta hingga ia pun lupa kalau  sapunya sudah pernah dibeli oleh Ricart. Namun bukan itu pointnya, perjuangan simbah penjual sapu ini sangat luar biasa, banyak di luar sana yang masih muda dan sehat tak memperdulikan apa itu berjuang untuk hidup ... simbah ini membuka hati kita dalam keadaan apapun tak ada alasan untuk berdiam diri dan menunggu "bejan" (keburuntungan) dan juga kesempatan. Mari kawan, kita bekerja, sekecil apapun aktivitasmu akan membuahkan hasil yang tak akan ternilai. Jangan pernah menhitung hasil, tapi susunlah proses itu menjadi inspirasi untuk selalu berjalan ke depan tanpa putus asa. 

Berikut saya kutip kisah Nenek Penjual Sapu dari Facebook Ricart Subagio. 

kembali aku dipertemukan dengan sosok seorang Simbah (nenek) yang tidak aku ketahui siapa namanya ,beliaulah seorang nenek tua penjual sapu yang aku temui tempo hari...kali ini beliau terlihat begitu lelah, jiilbab yang ia kenakan berantakan hingga menutupi sebagian wajahnya tak sempat ia rapikan...peluh berbutir-butir mengalir di pelipis tak ada waktu pula untuk ia seka, nafasnya pun terasa sangat berat untuk ia hembuskan...yahh seperti lansia pada umumnya kesehatan dan kekuatannya tak seperti saat ia muda dulu, bertubuh (maaf) bungkuk dan berjalan agak terpincang tak membuatnya menyerah untuk terus berusaha menjalani hidup, berjiwa besar dengan harga diri yang sangat tinggi, pantang untuk menyerahkan nasibnya dari hasil meminta minta atau mengemis.
siang ini tiba-tiba beliau mendatangi toko tempatku bekerja, "ngindit" (membawa benda dengan diletakkan di bagian pinggul) beberapa buah sapu yang aku yakin sangat tidak mudah untuk orang seusianya, "mas ngersakne sapu mboten?" dengan suara yang agak gemetar dan sesekali terbatuk..."pinten Mbah? (berapa Mbah?)"aku bertanya, "sedoso ewu mas (sepuluh ribu mas)", dan kembali ia terbatuk...
aku berpikir bahwa harga tersebut memang sedikit mahal untuk harga sapu pasaran, namun aku yakin bahwa perjuangan yang ia lakukan jauh lebih mahal melibihi harga barang yang ia jual...
"enggeh Mbah kulo mendhet setunggal!" (iya Mbah saya ambil satu), subhanallah sontak senyuman yang sangat melegakan terukir dibibir Simbah itu, ku berikan uang sepuh ribu dengan kedua tangan ku Simbah itupun meraihnya dengan kedua tangannya pula, dengan sedikit agak membungkuk hampir ingin menempelkan keningnya di tangan ku, "matur nuwun sanget nggeh mas? {terima kasih sekali ya mas)", sontak aku seperti patung tubuhku mengaku, entah apa yang terjadi aku seperti tak dapat menggerakkan tubuhku, melihat pemandangan yang begitu menyayat hati, seorang Simbah yang sudah renta masih harus bekerja keras berjualan sapu untuk menyambung hidupnya...ya Allah bagaimana jika saya diposisi Simbah itu, bagaimana jika keluarga saya yang merasakan, mungkin aku tak akan sanggup 😞
setelah transaksi jual beli selesai aku kembali masuk kerumah, terlihat masih ada 2 buah nasi bungkus sisa dagangan yang tidak habis tadi pagi, aku teringat kepada Simbah tadi kemudian berlari mengejarnya yang mengejutkan ternyata Simbah belum beranjak dari tempatku tadi aku beranikan diri untuk bertanya "Mbah njenengan sampun dahar? (Mbah apakah anda sudah makan)" sedikit kaget ia mendengar pertanyaanku, dia menundukkan pandangan aku yakin matanya sempat berkaca-kaca, "dereng...(belum)" jawabnya singkat, masih dengan nada gemetar...Ya Allah betapa tersyatnya hati ini...pantas saja sedari tadi ia terlihat gemetaran mungkin karena memang ia belum makan sedari tadi....kuberikan nasi yang hanya dua bungkus itu, beliau terima dengan tangan yang gemetaran dan dimasukkannya kedalam tas..."matur nuwun mas, matur nuwun sanget mugi2 daganganipun laris nggih? (terima kasih mas, semoga dagangannya laris)" sebuah doa penghujung percakapan denganku di siang ini...beliau pun beranjak pergi....masih degan jalan yang gontai agak terpincang
aku terduduk kemudian....membayangkan akan kemana Simbah tadi, apakah beliau memiliki rumah, bagaimana ia makan nanti...ya Allah tak habis2 aku bersyukur melihat kondisiku sekarang yang lebih beruntung daripada Simbah tadi...bukan bermaksud sombong atau riya' menjadikannya postingan ini, namun saya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa perjuangan dan usaha Simbah yang sangat luar biasa tadi pantas untuk menjadi panutan, usia yang sudah tidak muda lagi tak membatasi semangatnya untuk bertahan hidup, ia menjaga kehormatan dan harga dirinya dengan memilih pekerjaan yang berat daripada mengemis atau meminta2, mengajarkan bahwa sebagai seorang manusia haruslah banyak bersyukur pada apa yang kita miliki saat ini, belajar tentang nilai kehidupan bahwa tak ada yang sia-sia selagi kita mau berusaha, dan yang pasti bahwa berbagi kepada sesama tak akan membuat kita menjadi miskin, sekalipun tak ada balasan berupa materi dan benda, namun yakinlah bahwa keikhlasan akan bernilai tak terhingga di surga nanti...
Simbah tua penjual sapu...lelah tak kan menghianatimu, panas tak mudah tuk menguapkan niatmu, hujanpun tak kan pernah sanggup mematikan semangatmu, tetap berjuang Mbah, Allah selalu melindungimu, setiap langkah ikhlasmu adalah ibadah, setiap sujudmu adalah amal yang sangat mewah, keteguhan hati menutup aurat akan terbayar lunas nanti di akhirat, perjuangan menjaga harga diri akan dihadiahi surga yang dinanti...semoga sehat selalu Mbah 😊😊

Solo, 16 Februari 2017

Posting Komentar untuk "Nenek Penjual Sapu (Surakarta) "